Malam itu aku bersama dengan saudaraku yang lain berkumpul di rooftop rumah kami. Kami semua berbaring di atas karpet bulu rasfur, sambil melihat bintang-bintang nan gemerlap bertabur di atas langit malam. Kali ini Ayah tidak ikut berkumpul bersama kami.
Aku mengingat-ingat kapan terakhir kali kami berlima berkumpul seperti ini, mungkin sepertinya sudah dua bulan yang lalu. Ah, suasana hatiku malam hari ini sangat baik. Entah karena aku sedang berkumpul dengan saudaraku, atau karena menikmati pemandangan langit malam.
Ngomong-ngomong, langit malam kali ini benar-benar terlihat sangat bersih dan cantik. Aku bisa melihat bintang dan bulan saling berdekatan satu sama lain, saling menyumbangkan cahaya menebus kegelapan Sang Malam.
Indah sekali…
Tiba-tiba saja terdengar suara dari arah sebelah kiriku, oh ternyata itu adalah suara Mas Naresh.
“Guys guys, night conversation, yuk! Udah lama nih kita gak cerita-cerita.”’
Si bungsu Jiel mengangguk antusias, “Ayo!”
Aku pun bersuara, menanyakan siapa yang ingin memulai bercerita.
“Siapa nih yang mau cerita duluan?” tanyaku.
“Gue mau cerita,” ujar Haikal yang tidur di sebrangku.
“Kalian tau kan gue lagi gebet temen satu kampus gue?” tanya Haikal yang mulai mendudukan tubuhnya.
Mas Naresh pun melirik Haikal, “Oh, yang kata bang Haikal anak Fakultas Hukum kita itu ya?”
Haikal pun menganggukan kepalanya antusias, “Nah iya yang itu!”
“Kenapa, Kal? Si doi nolak lo ya?” tanyaku yang masih tetap berbaring sambil melihat langit malam.
“Lebih parah dari itu, anjir! Ternyata dia udah punya pacar. Padahal, waktu gue lagi pdkt sama dia, dia bilangnya masih single. Tau-tau gue dighosting sama dia satu mingguan, terus besoknya gue dapet kabar kalo dia udah pacaran sama anak Fakultas Teknik Mesin. Sialan.” ujar Haikal yang menggebu-gebu.
Aku dan yang lainnya otomatis tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Haikal. Sungguh malang nasib percintaan kembaranku itu.
Kak Mike yang masih tertawa di sampingku pun berceletuk, “For the first time, adik Kak Mike yang satu ini kena ghosting hahaha.”
“Iya kak, hahaha. Padahal, dulu ada nih yang pernah bilang, kalo dia itu pacar idaman semua cewek di kampus.” sindirku sambil tertawa kembali karena melihat ekspresi Haikal.
Haikal pun menatap kami semua dengan tatapan yang tidak terima karena kami mentertawakan dirinya, “Emang ya kalian tuh, bukannya pada kasihan sama gue gara-gara kena ghosting, ini malah ngetawain gue,”
“Kayaknya pelet Mas Haikal kurang manjur nih hahaha,” kata Jiel sambil memegangi perutnya yang kesakitan, karena terlalu banyak tertawa.
“Peletnya mah udah kenceng, tapi si ceweknya aja yang kayak uler. Banyak cowoknya,” canda Haikal.
Sekali lagi, kami semua tertawa keras karena candaan kembaranku itu. Sepertinya sad boy adalah kata yang cocok untuk mendeskripsikan Haikal saat ini.
“Udahan dong, stop ngetawain gue. Lanjut nih, siapa lagi yang mau cerita.” kata Haikal yang kembali berbaring di sebrang sana.
Aku dan yang lainnya mencoba untuk berhenti tertawa. Empat menit pun berlalu dengan hening, masih belum ada yang ingin bercerita lagi. Sampai akhirnya, Kak Mike yang di sebelahku bersuara,
“Kemarin malam, Kakak mimpiin Bunda,”
Aku yang mendengarkan Kak Mike, pun seketika menoleh ke arahnya, ”Mimpi gimana, Kak?”
Kak Mike pun sejenak merubah posisi tidurnya, ia menjadikan tangannya sebagai bantal. Lalu ia menjawab,
“Bunda di mimpi Kakak cantik banget. Bunda pake dress putih panjang, terus dia senyum ke arah Kakak. Lama banget senyumnya,” kata Kak mike.
Kak Mike tampak diam sebentar, sambil terus menatap langit malam. Aku dan yang lainnya pun menunggu kakaku itu melanjutkan ceritanya dengan rasa penasaran.
“Bunda jalan ke arah Kak Mike, terus dia ambil tangan kakak. Kakak coba tanya ke Bunda, “Bun, kita mau kemana?”, tapi Bunda gak jawab. Kakak sama Bunda jalan terus sampai ke ujung, eh tiba-tiba semuanya jadi black out. Kakak kebangun, selesai deh hahaha.” lanjut Kak Mike sambil tertawa ringan.
“Hm, kayaknya Kak Mike kangen sama Bunda deh,” kata Mas Naresh yang tidur berhadapan dengan kakakku itu.
Kak Mike pun tersenyum sambil tetap menatap langit malam, “Tapi menurut kakak, Bunda yang kangen sama Kak Mike.’
“Soalnya ini bukan pertama kalinya kakak mimpiin Bunda…” lanjut Kak Mike.
“Huh…Jiel juga mau didatengin Bunda di mimpi, tapi Bunda gak pernah dateng.” ucap Jiel yang mengerucutkan bibirnya.
“Guys, coba lihat langitnya deh. Ada 7 titik yang terang, kayaknya itu rasi bintang deh.” kataku mendistraksi obrolan kami.
Mas Naresh pun berseru sambil menunjuk ke arah langit, “Coba deh kalian bayangin kalo itu keluarga kita. Pas banget kan ada 7 bintang?”
Kami semua serentak menganggukan kepala, lalu aku seolah-olah membayangkan kalau 7 bintang itu adalah keluarga kami.
“Iya, Mas. 2 bintang yang paling terang itu Ayah sama Bunda, sisanya kita deh.” tutur Jiel sambil menggerakan jari tangannya di udara, menyatukan titik-titik terang itu.
Kami semua kembali terdiam dan masih betah memandangi bintang-bintang nan jauh di atas sana. Setelah mendengarkan cerita kakakku tadi, aku juga ikut bertanya-tanya. Kenapa Bunda tidak pernah datang ke mimpiku barang sekali saja? Padahal aku sangat rindu padanya.
Ah, sudahlah. Aku tidak ingin terlalu memikirikan itu. Siapa tahu nanti malam Bunda akan mampir ke mimpiku. Oh, iya. Tiba-tiba saja aku kepikirang tentang Ayah. Aku penasaran, Ayahku sedang apa di negara orang? Apakah ia sekarang masih berkerja?
“Guys, gue tiba-tiba kepikiran sama Ayah deh. Mau coba telepon Ayah, gak?” tanyaku tiba-tiba.
Haikal sempat melirik ke arahku, “Boleh deh, coba sana lo telepon. Terakhir kan Ayah cuman ngabarin kita lewat grup chat doang.”
“Iya, Mbak. Coba aja telepon Ayah,” ujar Mas Naresh.
Akupun mengambil handphone-ku yang berada di atas meja sana, lalu ku ketikan nama Ayah di kontak pencarian. Aku mencoba menelepon Ayah beberapa kali, namun teleponku tak kunjung diangkat olehnya. Sepertinya, malam ini Ayah masih ada jadwal penerbangan.
“Gimana, diangkat gak sama Ayah?” tanya Kak Mike kepadaku.
Aku menggeleng pelan, “Gak diangkat, Kak. Mungkin Ayah masih ada penerbangan.”
“Iya Mbak, kayaknya Ayah masih kerja deh. Nanti coba telepon lagi aja.” sahut si bungsu.
Selanjutnya kami semua pun kembali bercerita, dan sesekali mengisi perut kami dengan makanan ringan yang tersedia.
Ada Mas Naresh yang bercerita, kalau hari ini motor kesayangannya itu (vespa matic) lagi-lagi mogok di tengah jalan, dan lagi-lagi ia pun harus membawa motornya itu ke bengkel langganannya.
Lalu si bungsu Jiel bercerita, kalau ia sudah memantapkan pilihan hatinya untuk memilih universitas mana yang akan ia coba apply nanti. Ah, tidak terasa kalau adik laki-laki bungsuku yang satu itu akan segera masuk ke perguruan tinggi. Aku sebagai kakaknya benar-benar bangga melihat perkembangannya.
Sedangkan aku hanya bercerita tentang kegiatanku hari ini. Seperti, aku yang pergi ke kampus, lalu sepulang dari kampus aku pergi ke toko buku bersama temenku. Hanya itu ceritaku, tidak ada yang terlalu menarik.
Tidak terasa malam pun semakin larut, aku melihat jam yang ada di handphone-ku. Ternyata sudah pukul 22.00 malam. Aku melihat ke sampingku, ternyata Kak Mike tertidur pulas. Aku pun membiarkannya saja, sepertinya ia kelelahan karena seharian bekerja.
Saudaraku yang lainnya masih asik mengobrol, sedangkan aku hanya diam mendengarkan cerita-cerita random mereka. Sesekali, aku menghitung jumlah bintang di atas sana, untuk mengusir rasa kantukku.
“Guys, udahan ngobrolnya yuk. Jiel udah ngantuk nih.” rengek Jiel sambil mengusap-usap matanya.
Aku pun mengangguk karena aku juga merasa ngantuk, “Yaudah. Tapi, kita beres-beres dulu. Baru nanti masuk ke rumah.”
“Iya, ayo cepetan beresinnya. Kaki gue udah digigitin sama nyamuk nih.” celetuk Haikal yang menepuk-nepuk kakinya agar para nyamuk tidak mengigitinya.
Aku dan yang lainnya mulai membereskan rooftop itu, dan membuang semua sampah makanan ke kotak sampah. Tiba-tiba Mas Naresh menepuk pundakku pelan,
“Mbak, itu Kak Mike kok masih tidur? Tadi udah mbak bangunin, kan?”
Aku melirik ke arah Kak Mike sebentar, ternyata ia masih saja tertidur. Padahal kami semua sebentar lagi selesai berberes-beres.
“Iya Mas, udah Mbak bangunin kok tadi. Tapi Kak Mike tidurnya nyenyak banget. Coba Mas Naresh bangunin lagi, gih.” suruhku sambil menaikan sedikit daguku yang mengarah ke Kak Mike.
Lalu, Mas Naresh pun berjalan mendekati kakakku itu. Aku melihat ia menepuk-nepuk pelan bahu Kak Mike, namun tidak ada respon sama sekali darinya. Karena Mas Naresh terlihat geram, ia mulai mengoncang-goncangkan tubuh Kak Mike sampai beberapa kali.
Tapi, tetap saja Kak Mike tidak kunjung bangun dari tidurnya.
“Guys! Sini!” teriak Mas Naresh panik.
Aku dan yang lainnya pun segera mendekat ke arah Mas Naresh. Sungguh, raut muka Mas Naresh sangat terlihat kalau dirinya sedang panik.
“Kenapa?” tanya Haikal yang berjongkok di sebelah Mas Naresh.
“Coba Bang Haikal yang bangunin Kak Mike. Mas daritadi udah coba buat bangunin, tapi kakak gak bangun-bangun…” ujar Mas Naresh yang terdengar getir.
Haikal pun segera menggeser tubuh Mas Naresh, ia mulai menepuk-nepuk pipi Kak Mike, “Kak Mike, bangun. Lo jangan nge-prank kita ya.”
Kembaranku masih berusaha untuk membangunkan Kak Mike dengan berbagai cara, mulai dari mengoyang-goyangkan tubuhnya, dan menyalakan lagu sekeras-kerasnya. Namun, respon dari Kak Mike tetap nihil…
Aku dan yang lainnya mulai panik, karena Kak Mike tak kunjung bangun. Lalu, aku mulai ikut berjongkok di samping Haikal.
“Misi dulu, Kal.”
Biasanya, kalau aku mengelitiki Kak Mike, ia akan terbangun dari tidurnya.
Aku pun mengelitiki kaki Kak Mike, tapi benar-benar tidak ada respon darinya. Apakah ia benar-benar tidur sepulas itu?
Aku merasakan ada sesuatu yang ganjil…
Dengan tangan gemetar, aku mencoba mendekatkan tanganku ke hidungnya.
Sial… aku tidak merasakan ada nafas yang berhembus dari sana.
Jari tanganku pun beralih ke area lehernya, memeriksa denyut nadi Kak Mike.
Tuhan… aku sama sekali tidak merasakan denyut nadinya…
Dengan mata yang sudah mulai berair, aku mulai memeriksa kelopak mata Kak Mike.
Aku melihat kekosongan di matanya…
Bola mata Kak Mike mulai mengecil…
“Kak Mike!” teriakku histeris sambil mengoyang-goyangkan tubuhnya.
Tidak… ini tidak mungkin. Pasti Kak Mike hanya mengerjai kami saja, kan?
Jiel yang duduk di sebelahku, pun ikut menangis, “Mbak… Kak Mike kenapa?”
Aku seketika jatuh dan terduduk lemas di sana, pandangan mataku kabur tertutupi oleh air mata,
“Kak Mike… Dia udah gak ada…”
Aku melihat saudaraku yang lainnya tampak terkejut, pandangan mereka semua seketika berubah menjadi kosong.
Sungguh, malam itu aku dan yang lainnya kembali menangis karena lagi-lagi kehilangan anggota keluarga kami.
Tuhan, kemarin baru saja aku merasakan kebahagian, karena keluargaku kembali seperti dulu. Tapi, sekarang apa? Semuanya berubah 180 derajat. Dengan cepat, kau ambil nyawa kakak sulungku. Kenapa harus ia pergi semendadak ini?
Seketika aku teringat, kalau tadi Kak Mike bercerita tentang mimpinya. Ia bercerita tentang Bunda yang datang untuk menjemputnya. Dan aku baru sadar, itu adalah ‘tanda’ kepergiannya. Ia benar-benar menyusul Bunda pergi ke Surga.
Ternyata, 2 bintang yang bersinar paling terang di sana adalah Bunda dan Kak Mike, bukan Bunda dan Ayah…
Malam itu. aku menangisi Kak Mike yang tidak bisa mendengar teriakan dan tangisan kami…
Malam itu, aku menangisi senyum & tawa Kak Mike yang terakhir kali untuk kami…
Malam itu, aku menangisi Kak Mike pergi tanpa pamit pada kami…
Malam itu, adalah malam terakhir Kak Mike bersama kami….
Selamat berpulang, Si Bintang Altair. Sosok yang paling kuat di antara kami…